NEWS Enrekang– Kasus penganiayaan di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang sempat memanas akibat persoalan sepele soal knalpot bising, akhirnya berakhir damai. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) secara resmi menghentikan penuntutan perkara tersebut setelah kedua pihak sepakat menyelesaikannya melalui mekanisme keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ).
Langkah ini menegaskan komitmen Kejati Sulsel untuk menegakkan hukum yang berorientasi pada pemulihan dan kemanusiaan, bukan semata-mata penghukuman.
Kasus Bermula dari Knalpot Bising
Perkara ini melibatkan MIW (22), seorang mahasiswa yang menjadi tersangka, dan MA (25), korban yang juga berstatus pelajar/mahasiswa. Kejadian bermula pada Agustus hingga awal September 2025 di kawasan Bampu, Enrekang.
Saat itu, MIW sedang bekerja membantu pengecoran jalan di lingkungan setempat. Ia menegur MA yang melintas menggunakan sepeda motor dengan knalpot bising. Teguran sederhana itu memicu emosi. MIW melempar sandal ke arah korban, dan perdebatan kecil berujung pada pesan suara bernada menantang dari pihak korban.
Tersulut emosi, MIW bersama tiga rekannya mencari MA. Pertemuan keduanya berakhir dengan aksi penganiayaan ringan yang menyebabkan korban mengalami memar di wajah dan kaki. Meskipun luka tersebut tidak berat dan telah sembuh sepenuhnya, kasus ini sempat berlanjut hingga tahap penyidikan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Enrekang.

Baca Juga: Nasu Cemba Kuliner Legendaris Enrekang yang Saingi Rendang dari Sumatera Barat
Ditempuh Jalur Restoratif, Bukan Pembalasan
Melihat kondisi dan latar belakang kedua pihak, Kejari Enrekang mengajukan penghentian penuntutan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 01/E/EJP/02/2022.
Ia didampingi Aspidum Rizal Syah Nyaman, Koordinator Koko Erwinto Danarko, Kasipenkum Soetarmi, serta jajaran Pidum Kejati Sulsel. Dari Kejari Enrekang, turut hadir secara virtual Kajari Padeli, Kasi Pidum Andi Dharman Koro, dan tim jaksa fasilitator.
Robert menjelaskan bahwa keputusan menghentikan penuntutan ini tidak diambil secara gegabah. “Kami menilai perkara ini memenuhi seluruh syarat keadilan restoratif. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, telah ada perdamaian yang tulus tanpa paksaan antara korban dan pelaku, dan masyarakat juga mendukung penuh penyelesaian secara damai,” ujarnya.






